Tradisi makan ngidang seperti ini hampir ditinggalkan oleh masyarakat kita Palembang, namun sesekali ada juga masih menggunakan cara ini, acara seperti ini memang merepotkan, mulai dari panggung, ngobeng sampai menngumpulkan piring untuk dicuci kembali. Namu makan dengan cara ini bisa menimbulkan keakraban sesama tamu. Hidangan ini terdiri dari lauk-pauk yang sering diistilahkan dengan pulur, penyedia atau yang mengatur hidangan disebut ngobeng.
Ya ini budaya yang patut dilestarikan. Di beberapa desa di sumsel, tradisi yang satu ini tetap bertahan, tak mampu dikikis oleh sistem prasmanan yg mulai merambah desa.
ReplyDeletepaling cuman setahun sekali biso makan seperti itu, kalo lagi pulang kampung doankkk,,, kangen makan di samping ayah ama ibu,,,
ReplyDeletewah,,, saya jadi ngiler!!!!!
ReplyDeletebener nian, biso nambah keakraban men cak ini
ReplyDeletedirumah aq msh cak ini men makan
jadi pacak sambel becerito
tapi lauk2nyo dk sebanyak itu mang cek, bangkrut men tiap ari cak itu
Terakhir ngalamin ngidang tahun 1986, di sekitar jalan radial,acara marhabaan tetangga, walau saya termuda karna mewakili bapak saya, tapi saya merasa tetap di hargai, dan oleh karnanya tak lekang dari ingatan saya, suasana kekeluargaan timbul,sambil kelakar....pulur..pulur..pulur maksudnya hidanngan pencuci mulut biasanya nanas, diawali di hidangkan sebelum lauk pauknya.
ReplyDelete