bebas bayar, pembayaran mudah dan cepat, transaksi online, pembayaran tagihan dan tiket, transfer dana online

12 June 2006

Sungai Musi Bukan Pacarku

esei Sungai Musi Bukan Pacarku(Mengurai Kegagalan)
T. Wijaya



Sungai Musi bukan pacarku. Tapi dia selalu menggodaku. Kulitnya tidak menarik seleraku. Kuning kecoklatan. Tapi setiap saat aroma tubuhnya, kepadaku, selalu mencoba menjelaskan masa lalu dirinya: Disetubuhi keperkasaan Bala Putra Dewa, ditaklukan Dharmawangsa, dirongrong perompak Chang Lien, diagungkan Ki Gede Ing Suro, dan kini entahlah…pabrik-pabrik dan rumah panggung yang nyaris roboh memimpikan karakter Venesia. Seperti Abdullah, penarik perahu ketek, selama 15 tahun memimpikan memiliki perahu jukung.

Suatu kali, sineas Garin Nugroho berkunjung ke Palembang. Setelah makan nasi pindang ikan patin, melahap pempek, dan menatap bulan dari atas Jembatan Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera), dia bertanya: Berapa banyak karya sastra yang menceritakan Sungai Musi?

Aku menjawabnya banyak. Sebab hampir dipastikan setiap penulis di Palembang menulis Sungai Musi. Dari sastrawan B. Yass, penyair Koko Bae, hingga penyair Anwar Putra Bayu.

Sayangnya, harus kuakui, tidak satu pun karya sastra mengenai Sungai Musi membuatku jatuh cinta, menggelepar, menangis. Sungai Musi dalam sastra mungkin seperti lintasan berita yang membuatku lelah, masuk angin, dan sakit gigi, setiap hari. Mahal tapi terlupakan seperti iklan calon presiden.
Entahlah. Apakah ini sebuah kesombongan, kebodohan, ketidakpedulian, atau kecemasan dari seseorang yang mengaku dilahirkan di tepi Sungai Musi. Sama seperti sahabatku, Achmad, yang tinggal di tepi Sungai Musi, dan mengaku tidak pernah membaca karya sastra mengenai Sungai Musi. Apalagi mengenal penyair Yunen Asmara, yang dulu tinggal tak jauh dari rumahnya. Yunen menulis puluhan puisi romantik sambil menatap ombak Sungai Musi. Tidak kutemukan puisinya tentang Sungai Musi. Aku memang bukan pacarnya Sungai Musi.

Sungai Musi tidak sendiri. Di kota Palembang dia memiliki ratusan anak. Ratusan ribu orang menghirup airnya. Sepanjang lebih kurang 7 kilometer ribuan orang kencing dan berak.

Selain itu dia mempunyai saudara yang mampu membuat kita menyusuri daerah Sumatra Selatan hingga ke Jambi dan Lampung. Sebut saja Sungai Ogan, Sungai Lematang dan Sungai Komering. Sayangnya, nasibnya juga sama seperti Sungai Musi. Tidak dicintai para pekerja sastra. Atau, aku gagal membaca dan atau penerbit yang sombong, dan toko buku tergantung Jakarta.

Seseorang berbisik padaku, katanya seperti kemarahan Sultan Mahmud Badaruddin II, ketika Belanda mencaplok Kesultanan Palembang. "Kau terlalu asyik membuka mulutmu saat menyaksikan plasa menjual boneka dan buahan import." Sayangnya aku tidak tahu apa yang dikatakan Sultan Mahmud Badaruddin II saat Belanda menguasai Kesultanan Palembang.

Aku malu. Beberapa bulan aku memikirkan Sungai Musi, dan kutulis puisi ini, dan kuragukan banyak yang tahu puisi ini, apalagi mereka yang setiap hari mandi di Sungai Musi:

Hari Ini 182 Ribu Orang Mengencingi Sungai Musi

Hari ini 182 ribu orang mengencingi Sungai Musi. Bergelombang. Tinggi dan rendah. Seperti perahu-perahu yang bergoyang, tiba-tiba meloncat ke meja makan gubernur. Marah. Harga sewa kamar seperti di London. Siapa yang kencing terbanyak dikirim kian ke hulu, mempertandingkan amoniak dan sabun cuci. Dilarang mandi, berak dan mencuci!
Gagal sudah Solikin merampas gedung dewan. Teman-temanku banyak yang lapar pada saat pertandingan moral. Mereka membeli murah pendidikan dan pabrik yang menggeser rumah panggung dan rumah rakit. Sebungkus rokok dan lima kilogram beras untuk lima tahun.
Inilah sejarahku. Sejarah 182 ribu orang mengencingi Sungai Musi. Dada yang dikalahkan para perompak. Dan dada yang tidak pernah membaca mengapa tiang rumah menjadi cagak gelam. Memang percuma Sultan dilahirkan kembali. Senjata-senjata sudah menjadi ulama. Sultan, mari kencing bersamaku di Sungai Musi. Melupakan abahku yang mengikatku di pohon rambutan, layaknya anak tentara Belanda.

Oi para kekasihku yang liar dan tidak pernah kusentuh di kampus-kampus dari utang luar negeri, kencinglah di Sungai Musi, sebelum kebebasanmu dibeli presiden dari Pentagon. Presiden menyebarkan kaum muda yang mencatat perilaku kamar orangtuanya. Ponsel, pulsa dan internet magnet terdalam dari arus Sungai Musi. Kencinglah, kencinglah di sana meskipun kau sudah dibekap antu banyu yang memantau kita di sini. Di sejarah 182 ribu orang mengencingi Sungai Musi. Kita adalah dilarang mandi, berak dan mencuci!

***

Trilyunan menit yang lalu. Pada menit yang sunyi, dan rawa-rawa adalah daerah resapan air dan surga bagi Ikan Belido dan Betok, puluhan pedagang dan perompak hilir-mudik di Sungai Musi.

Dengan tangis dan kebencian ratusan manusia dikirim ke Malaka. Dijual sebagai budak kepada para raja dan pedagang. Mereka dikirim bersama beras, bawang putih, bawang merah, daging, arak, rotan, madu, damar, katun, dan sedikit emas, yang diambil dari pedalaman Sungai Musi.

Chang Lien tidak menyukai puisi. Tidak menginginkan anak buahnya menulis puisi. Chang Lien membangun puluhan gudang, toko, kapal, dan memberikan kekuasaan kepada pedagang dari Jawa, berlayar hingga ke negeri China. Memberi upeti kepada Kaisar Tai-tsu. Hari ini Chang Lien bagai pemilik puluhan rumah toko, plasa, dan bus kota.
"Aku tidak mengenal Chang Lien," kata Koko Bae, suatu hari pada 1993. Sambil menangis dia melukis Sungai Musi. Dari Musi 1 hingga Musi 30. Warna coklat, hitam dan merah adalah tangisan Koko Bae.

Pada 1998 kebencian terhadap Chang Lien merebak di sepanjang Sungai Musi. Mereka ingin merampas kembali saudara-saudara mereka yang dijual ke Malaysia, Singapura dan Brunai. Mereka inginkan hak orang menjadi haknya. Balas dendam.

Pasar 16 Ilir terbakar! Sejumlah pertokoan di Jalan Veteran, Pasar KM.5, Kenten, Jalan Kolonel Atmo, dan di sekitar Masjid Agung juga terbakar!

Seusai Pemilu 1999, kepada Djohan Hanafiah yang mencatat Chang Lien dalam buku Melayu-Jawa (1995) aku menulis puisi ini:

Pergi ke Ruang Kerja Pamanmu

Sesudah Sriwijaya dan Kesultanan Palembang hancur, siapakah yang bertanggungjawab atas kiriman sayur-sayuran dari dusun dan harga beras di warung kami. Pasar-pasar yang tumbuh hanya mengirimkan minyak tanah yang mahal. Sementara itu, dua kekasih hasil Pemilu 1999 terkurung di ruang kerja seorang paman.

Kita dipaksa pergi ke ruang kerja pamanmu. Tanpa bunga di meja kerjanya. Tapi musik mengalun. Asbak rokok yang tengah menanti buah dadamu, air liurnya berkerak. Hitam berbau. Pamanmu seperti sebuah karung beribu tahun dalam kulkas. Giginya palsu dan rambutnya seperti tali ayunan anak-anak. Dan, kita selalu berhadapan. Katamu. Aku menyintaimu, Babi. Seperti pagi hari yang kering. Lalu, senjata itu berkeringat di saku celana pendekmu. Ingin mencari angin. Ibarat ikan asin buatan ibuku. Seperti perusahaan roti kering sahabatmu. Lembaran kertas-kertas kerja pamanmu akhirnya meneteskan darah ke kakiku yang telanjang.

Pamanmu tak mengizinkan pergi ke tepi Sungai Musi. Ada penjaga di rumah-rumah rakit. Pekerja sosial dengan anggaran pemerintah membuatnya seperti antu banyu, yang tidurnya selalu gelisah: Mencemaskan pamanmu seperti para nabi yang ingin memperpanjang kontrak wahyu dengan Tuhan. Dan, kita selalu berhadapan. Tapi aku selalu menonton dari perahu yang kubayar seribu rupiah. Hotel dan café, hotel dan lapangan golf, hotel dan kapal pesiar, terus merayu rumah rakit dan rumah panggung. Pamanmu begitu bersemangat mendayung perahu ke hilir.

Sebenarnya, kekasih. Apa yang menarik dari puing masjid, bayi terpanggang, buah dada terpotong, paha gadis berulat, patung Yesus terbelah, yang tersusun di meja makan pamanmu. Semuanya proposal-proposal yang memakan rambut, ludah, dan air mani, yang memotret kota ini dari 105 juta kaki di atas kepala bayimu. Semuanya demi lukisan di atas tanah mengandung minyak. Bukan minyakmu, Babi. Tapi pamanmu sudah menjual ruang-ruang publik untuk negara belanjamu. Perjudian dan daya beli para penggemar Inul merupakan pajak buat berolahraga.

Katakanlah, hujan turun di atas rawa pagi ini, menjelaskan sepatu kulit pamanmu adalah sejarah berdarah di kampung kami. Meremukan bahasa para malaikat, dan membiarkan anak-anak menggergaji foto keluarganya. Hujan turun itu adalah irama pagi tanpa siang dan sore. Suara pesawat terbangmu, kapal lautmu, traktormu, nasionalismemu, nenekmoyangmu adalah Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Bukan peluru tapi semacam pembunuhan melalui proyek-proyek dengan anggaran para penjudi. Hujan selalu datang di pagi hari.

Kita masih bertahan di ruang kerja pamanmu. Aku menyintaimu, Babi. Beranjaklah dari kursi itu. Jari-jari liarnya terus menggerayangi otakmu. Lihat ke jendela. Perutmu terlalu besar di kacanya. Aku tak keberatan kau jadikan pamanmu selimut, asal padi-padi bebas tumbuh di ketiakku, dan minyak terus mengalir dari buah dadaku. Buah dada kelaparan. Buah dada anak sungai. Buah dada anak rawa. Lalu mata uang adalah buah kopi yang dijinjing para petani ke kota.

Pamanmu berkata: Kemarilah anak-anak rawa dan sungai yang tersisa. Mari mandikan senjata ini dengan minyak. Isi pelurunya. Mari menstrika bendera ini. Siap. Mari mengulang berkaca dan membaca. Siap. Mari berhitung. Siap. Siap. Siap. Siap. Siap. Sejak sperma mulai diproduksi kita harus berkuasa. Yakni menjual, menjual, menjual, dan menjual. Kita mesti mempercantik Sungai Musi untuk membeli ruang kerja ini.
Di Irak pukul satu malam. Pesawat itu membawa mimpi pamanmu. Mahalnya daratan, mahalnya sepasang kaki indah, seharusnya terhidang di meja kerja. Tapi, Babi, kau selalu kirim sungai dan rawa, sehingga Irak menjadi obsesi pamanmu. Membangun ruang-ruang bawah tanah dengan minyak dan setumpuk penghargaan dari presiden. Di atasnya sebuah padang pasir dipenuhi lelaki tua telanjang. Memikul perahu dan berdongeng soal ikan betok dan gabus yang menjelma menjadi lapangan sepakbola dan perumahan wartawan.

Kita selalu berhadapan, Babi. Cinta tak mampu menyelamatkan rumah-rumah rakit. Pelayanan seks tak mampu mengembalikan rawa. Pamanmu sudah puluhan tahun mengurungmu di ruang kerjanya. Kau selalu terjatuh di hadapan kemaluannya, seperti ikan juaro. Kita mesti mengirim pamanmu ke dalam asbak rokoknya. Jangan melulu buah dadamu. Aku tak tahan selalu menjual. Aku bukan pedagang. Aku pelacur yang dipecat dari sebuah partai politik. Aku pelacur yang mempercayai Tuhan pamanmu. Maka masukan tangannya ke lubang anusku dan akan kutunjukan Sungai Musi adalah sampah para sahabatnya.
Wahai! Pejalan kaki. Lemparkan gergaji dan palu. Lemparkan gergaji dan palu. Sungai dan rawa di ruang kerja ini menjadi batu dan besi-besi kapal dagang dari Singapura! Oi, pasir pun penuh di otak pamanmu. Kita harus tetap berhadapan, Babi.

Sesudah Sriwijaya dan Kesultanan Palembang hancur, siapakah yang bertanggungjawab atas pendidikan mengaji dan berhitung anak-anak kami. Sekolah-sekolah yang tumbuh hanya mengirimkan biaya hidup guru dan dosen yang kian mahal. Sementara itu, dua kekasih hasil Pemilu 1999 terus terkurung di ruang kerja seorang paman. Di masa lalu, seorang remaja yang tengah bermain golf bersekutu dengan syetan untuk naik pesawat terbang. Selamanya menemui pintu-pintu yang rendah dan kecil.

***

Tahun 1960. Sariman, cucu Chang Lien, terdampar di Pasar 16 Ilir Palembang. Dia menjadi pendongeng hantu bagi ibu-ibu yang berbelanja.

Begini, Pasar 16 Ilir merupakan pasar tradisional tertua di Palembang, dan kini berkembang menjadi pasar induk. Menurut buku Palembang, Doeloe, Sekarang dan Akan Datang, yang ditulis Djohan Hanafiah, pada 1906-1935 pemerintah Belanda membangun sejumlah fasilitas umum, di antaranya pelabuhan 16 Ilir. Pelabuhan ini digunakan sebagai sarana penyeberangan dari Palembang Ilir ke Palembang Ulu dan juga sebagai penambat kapal atau perahu pengangkut ikan dan sayuran. Selanjutnya wilayah pelabuhan ini menjadi pertemuan berbagai etnis di Sumatra. "Siapa yang mau ke Jawa harus mengenal wajahku!" kata Sariman yang berdiri gagah di pelabuhan.

Syahdan, untuk melemahkan kekuatan Kesultanan Palembang yang ditaklukannya pada 1821, Belanda menghancurkan kekuatan masyarakat Palembang yang terpusat dalam beberapa guguk atau perkampungan – dalam bahasa Jawa Kawi guguk berarti diturut atau diindahkan. Caranya guguk itu diganti dengan perkampungan yang ditandai dengan nomor. Palembang yang dibelah Sungai Musi juga dibagi dua wilayah: Palembang Ilir dan Palembang Ulu.

Awalnya di Palembang Ilir ada 36 kampung dan Palembang Ulu ada 16 kampung. Tapi pada 1939 di Palembang Ilir tinggal 29 kampung dan di Palembang Ulu 14 kampung.
Dan, 16 Ilir merupakan salah satu kampung di Palembang Ilir. Karena perkembangan Pasar 16 Ilir, saat ini ditemukan sedikit sekali rumah warga di 16 Ilir. Hampir semua warga 16 Ilir adalah pemilik pertokoan dan swalayan.

Kemajuan Palembang tak lepas dari jembatan Ampera, yang mulai dibangun pemerintahan Soekarno pada 1962. Dananya hasil pampasan perang dari pemerintah Jepang. Saat diresmikan pada 1965 Jembatan Ampera diklaim sebagai jembatan terbesar di Asia Tenggara. Panjangnya 1.177 meter dan lebar 22 meter. Menariknya, bagian tengah jembatan ini terangkat setinggi 35,40 meter jika ada kapal yang hendak melintas. Pada 1970 aktivitas naik-turun jembatan dihentikan karena waktu yang dibutuhkan bukan lagi 10 menit seperti sebelumnya tapi 30 menit, sehingga mengganggu arus lalu lintas.

Apapun, jembatan telah membuka lalulintas dan transportasi dari dan ke berbagai jurusan. Alhasil, pasar-pasar di Palembang jadi sangat terbuka bagi para pedagang. Berbagai etnik mengadu nasibnya.

Kuli angkut barang umumnya berasal dari Banten atau Serang. Mereka tinggal di kolong-kolong rumah panggung milik wong Palembang, seperti di kampung Suro, 13 Ulu, 15 Ulu, dan 7 Ulu.

Tapi 10 tahun terakhir, kuli-kuli ini tidak hanya didominasi orang Banten dan Serang. Beberapa pendatang dari berbagai daerah di Sumatra Selatan memilih bekerja sebagai kuli di Pasar 16 Ilir.
Melalui jaringan kuli ini, pada pertengahan 1960-an beberapa preman dari Banten yang disebut "pendekar" juga mengadu nasib di Pasar 16 Ilir. Mereka disebut pendekar karena berambut panjang, menyelipkan parang di pinggang, dan selalu mengenakan pakaian hitam. Persis pendekar di dalam buku cerita bergambar. Mereka umumnya menjadi pengawas perahu-perahu yang mengangkut sayuran atau pengawas para kuli.
"Aku adalah pendekar!" teriak Sariman.

Sariman salah seorang pendekar dari Banten yang masih tersisa di Palembang. Dia berhenti menjadi pendekar saat zaman petrus – singkatan dari penembak misterius. Kala itu, di awal tahun 1980-an, setiap penjahat yang dinilai sadis atau kejam, dibunuh dengan cara diculik, ditembak, dan dimasukkan ke dalam karung.
Dalam buku otobiografi Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, disebutkan, "…petrus (penembakan misterius) itu memang sengaja dilakukan sebagai treatment, tindakan tegas terhadap orang-orang jahat yang suka mengganggu ketentraman masyarakat".

Menghindari buruan para petrus, meskipun mengaku punya ilmu kebal, Sariman terpaksa pulang kampung ke Banten dan menjadi buruh lepas. Kini, Sariman hidup di perkampungan 7 Ulu. Sehari-hari dia menggarap sebuah kebun di Keramasan, Kertapati Palembang.

Para turunan Cheng Lien membagi Pasar 16 Ilir menjadi beberapa wilayah "pajakan." Ada wilayah pelabuhan, wilayah pedagang ikan dan daging, pertokoan, dan pedagang sayuran. Setiap wilayah ini dibagi dua, keamanan malam dan keamanan siang. Plus, wilayah parkir. Tapi sejak 1990 wilayah pelabuhan menjadi sepi karena penampungan ikan laut dipindahkan ke pelabuhan 10 Ulu. Pelabuhan 16 Ilir hanya menampung ikan sungai yang tak begitu diminati pembeli.

"Upeti" bukan satu-satunya masalah bagi pedagang. Bisnis mereka mendapat preseden buruk dari ulah pencopet dan penjambret. Dapat dipastikan setiap hari pasti ada orang yang kecopetan atau kejambretan.

Pasar 16 Ilir juga surga bagi pecandu obat koplo. Puluhan ibu yang menjual obat eceran menyediakan bermacam obat koplo, dari jenis Magadon, Rohypnol, Nipam, hingga Artan. Para pedagang obat koplo ini nongkrong di samping atau "menyelip" di antara pedagang sayuran yang memunyai kios. Kode atau tanda agar cepat mendapatkan obat dari mereka ini cukup dengan sapaan "Mamak," yang memang memberi kesan akrab.
Sariman belum mati, dan terus beranak. Beranak bagai lipas di bawah rumah panggung yang terancam di tepi Sungai Musi.

***

Sungai Musi bukan pacarku. Aku terus membaca dan membaca petanya. Entah ke mana anak sungainya, seperti juga ke mana karya sastranya. Aku gagal seperti tetangga yang membakar semua perabot rumahnya.

Aku ingin bercinta denganmu di tengah bisingnya kota

Karena begitu banyak yang luka, dan tak mengenal cinta.
***

1 comment:

  1. esay karya Taufik Wijaya ini lumayan bagus. aku kenal dengan Taufik Wijaya, ketika ia bergabung di Harian Umum Lampung Post di Bandar Lampung. Dia adalah wartawan yang produktif, sekaligus sastrawan yang kritis.
    salam untuk Taufik Wijaya dari Abdul Madjid (Bang Madjid - Jemo Lintang) di Lampung.

    ReplyDelete

Silahkan tulis komentar anda di bawah ini