Pagi ini Palembang diramaikan oleh peserta jalan santai memperingati 100 tahun kebangkitan nasional, dimulai dari Monpera, Sudirman, Kambang Iwak dan kembali ke Monpera, sambil berjalan sehat juga ingin mewujudkan mimpi mendapatkan hadiah menarik dari panitia, mulai dari Motor, TV, Sepeda sampai beberapa bungkus Mi Instant.
Pelurusan Sejarah Bangsa
ReplyDeleteIni sedikit pencerahan untuk kita semua :
Pertanyaan
Assalaamu’alaikum wr. wb.
Ustadz yang saya hormati, perkenalkan lebih dulu saya seorang kary. swasta yang setia membaca di eramuslim.com.
Beberapa kali eramuslim.com menurunkan article tentang sejarah bangsa Indonesia (RA. Kartini, Islam masuk ke Indonesia, Hari Kebangkitan Bangsa “yang memalukan”, dll). yang mana hampir selalu bertentangan dengan yang diajarkan di sekolah meski dengan reference yang valid.
Yang ingin saya tanyakan:
1. Adakah seminar/ conference nasional yang membahas tentang pelurusan sejarah yang dihadiri para pakar sejarah?
2. Adakah ketetapan/ peraturan yang mengatur hari besar (Hari Kebangkitan Nasional)
3. Kalo ada. Sudahkah Pihak Eramuslim mengajukan tuntutan perubahan ketetapan hari besar yang baru
4. Selagi belum ada, bagaimana seorang siswa yang membaca article/ reference dari eramulim.com sedang dalam ujian ada soal seperti “Kapan Hari Kebangkitan Nas diperingati” harus menjawab?
Demikian ustadz, syukron atas jawabannya.
Wassalaamu’alaikum wr. wb.
Wied Piyungan
Jawaban
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Pembelokan sejarah adalah bagian dari penjajahan. Kalau kita mau tahu apakah bangsa kita atau khususnya umat Islam sudah merdeka sepenuhnya, bukan sekedar secara de jure, maka lihatlah pelajaran sejarah.
Seandainya sejarah masih mengecilkan peranan umat Islam, ketahuilah bahwa sebenarnya umat Islam masih tertindas.
Lho kok tertindas?
Ya, umat Islam masih tertindah, karena sejarah yang ditulis resmi oleh pemerintah ini memang masih mengecilkan peran dan arti umat Islam. Dan itulah yang dulu dilakukan oleh seorang orientalis Belanda, Dr. Scouck Hurgronje (1857-1936).
Sebagai penasihat militer Belanda, orang ini telah memberikan masukan yang sangat berarti, demi menjatuhkan perlawanan umat Islam Aceh melawan Belanda. Dan pemerintah militer Belanda saat itu memang menjadikannya sebagai rujukan dalam menghadapi perlawanan dan jihad umat Islam.
Ketika negeri kita merdeka, ternyata sejarah yang ditulis tentang umat Islam adalah sejarah versi Snouck ini. Salah satu bentuk pemalsuannya, dia mengatakan bahwa Islam baru masuk Indonesia pada abad ke-13, lewat para pedagang dari Gujarat.
Dan coba ingat-ingat lagi, bukankah memang informasi ini yang ditulis dan diajarkan di sekolah kita?
Padahal Prof. Dr. Buya Hamka, ulama kharismatik dan legendaris dari Sumtera Barat yang menulis tafsir Al-Azhar telah dengan tegas membantah ‘hayalan’ Snouck. Berdasarkan bukti-bukti yang otentik, ilmiyah dan disepakati para ahli sejarah, Buya Hamka dengan tegas mengatakan bahwa Islam telah sampai ke nusantara sejak abad pertama Hijriyah.
Bahkan Yazid bin Mu’awiyah, salah seorang shahabat atau tabiin, telah menginjakkan kaki di negeri kita. Dan itu terjadi pada abad ketujuh masehi.
Entah apa motivasinya, tapi Diknas masih saja menulis sejarah keliru yang sangat merugikan dan mengecilkan arti umat Islam. Dan kekeliruan itu tetap masih diajarkan hingga sekarang. Tentunya ini menjadi pe-er besar buat generasi muda muslim, yang kini banyak duduk di birokrasi.
Setidaknya harus ada keinginan kuat untuk meluruskan kembali sejarah umat Islam. Sebab yang tertulis dalam buku sejarah, adalah sejarah versi orang yang tidak suka pada agama ini. Dan sayangnya, begitu banyak umat Islam yang memang buta sejarah.
Kurikulum Pendidikan Yang Rancu
Bicara kurikulum pendidikan di negeri kita, harus kita akui masih banyak yang salah dan rancu. Bukan hanya urusan sejarah, bahkan yang sifatnya eksak dan ilmiyah sekalipun, masih saja kita dapati di sana sini yang keliru dan aneh.
Salah satunya adalah dalam ilmu fisika. Selama ini kita mengenal besaran massa dengan ons dan pond. Satu ons sering kita katakan sama dengan 100 gram. Dan satu pond kita kita katakan setara dengan 500 gram.
Tapi salah satu penelitian sederhana menyebutkan bahwa skala itu tidak dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan international. Kalau pun dunia international mengenal isitlah ons, yang benar adalah bahwa 1 ounce/ons/onza = 28, 35 gram dan bukan 100 gram.
Demikian juga, dalam skala baku yang dikenal di dunia ilmu pengetahuan, ternyata 1 pound = 453 gram dan bukan 500 gram. Dan 1 pound = 16 ounce (bukan 5 ons).
Bayangkan saja, bagaimana jadinya kalau seorang apoteker lulusan sekolah di negeri kita meracik resep obat yang seharusnya hanya diberi 28 gram, namun diberi 100 gram? Bisa-bisa pasien pada mabok, karena salah racikan.
Jadi memang masih banyak sekali pekerjaan rumah bagi kita. Salah satunya memperbaiki kurikulum pendidikan anak-anak kita di level sekloah dasar dan menengah.
Setidaknya bisa kita lakukan melalui jaringan SDIT yang kini sudah mulai menyebar di berbagai tempat. Jangan sampai kita capek-capek bikin sekola, tapi ujung-ujungnya kurikulumnya tetap saja buatan orang kafir. Jangan sampai kita hanya jago bikin gedung, tapi kurang mengerti bagaimana membuat kurikulum pendidikan yang original, efisien, tepat guna dan bermanfaat.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
Momentum Kebangkitan Nasional yang Memalukan!
ReplyDeleteSejarah yang salah
Di berbagai media, di tengah kesulitan hidup yang kian melilit rakyat, di tengah kemiskinan yang kian menjadi, di tengah keputus-asaan rakyat banyak yang kian membuncah, di tengah himpitan kemelaratan, di tengah pesta korupsi dan mark-up anggaran negara (baca: uang rakyat) yang dilakukan para pejabat negara, memasuki bulan Mei 2008 bangsa ini dicekoki dengan ‘Momentum 1 Abad Kebangkitan Nasional’. Hal ini tentunya dikaitkan dengan berdirinya organisasi Boedhi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908.
Jika salah satu syair dari Taufiq Ismail berjudul “Malu Aku Jadi Orang Indonesia’, maka sekarang ini judul syair tersebut bertambah relevan. Betapa memalukannya sebuah bangsa yang katanya besar ternyata masih saja salah menetapkan tonggak kebangkitannya sendiri. Dan parahnya, hal ini ternyata didukung oleh tokoh-tokoh dan partai Islam yang seharusnya menjadi agen pencerahan bangsa.
Misal, sebuah partai politik Islam besar akhir April lalu memasang sebuah iklan hitam putih seperempat halaman di sebuah harian ternama nasional. Dalam iklan tersebut, partai ini dengan tanpa malu memuat ‘Momentum 1 Abad Kebangkitan Nasional: Harapan Itu Masih Ada”. Disadari atau tidak, iklan ini telah ikut meracuni pemikiran generasi muda bangsa dengan ikut-ikutan latah menyiarkan kedustaan dan kesalahan yang fatal. Padahal partai ini kebanyakan diisi oleh orang-orang muda yang katanya intelek. Namun kenyataan yang terjadi sungguh memalukan!
Sayyid Quthb di dalam “Tafsir Baru Atas Realitas” (1996) menyatakan orang-orang yang mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan yang cukup adalah sama dengan orang-orang jahiliyah, walau orang itu mungkin seorang ustadz bahkan profesor. Jangan sampai kita “Fa Innahu Minhum” (kita menjadi golongan mereka) terhadap kejahiliyahan.
Situs eramuslim.com sekurangnya sudah tiga kali memuat tentang organisasi Boedhi Oetomo (BO) dan memaparkan bahwa organisasi ini sama sekali tidak berhak dijadikan tongak kebangkitan nasional karena BO sama sekali tidak pernah mencita-citakan kemerdekaan, pro-penjajahan yang dilakukan Belanda, dan banyak tokohnya anggota aktif Freemasonry yang merupakan organisasi pendahulu dari Zionisme. Seharusnya, tonggak kebangkitan nasional disematkan pada momentum berdirinya organisasi Syarikat Dagang Islam (SDI) yang kemudian berubah menjadi Syarikat Islam (SI) pada tahun 1905, tiga tahun sebelum BO.
Sebab itu, agar kita lagi-lagi tidak salah menganggap tahun 2008 ini sebagai Momentum 1 Abad Kebangkitan Nasional, maka Kami lagi-lagi menurunkan artikel terkait hal tersebut, agar kebenaran tetaplah kebenaran, dan sama sekali tidak akan goyah walau dengan alasan politis sekali pun. Sejarah adalah History, bukan His-Story!
Penghinaan Terhadap Perjuangan Umat Islam
Dipilihnya tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, sesungguhnya merupakan suatu penghinaan terhadap esensi perjuangan merebut kemerdekaan yang diawali oleh tokoh-tokoh Islam. Karena organisasi Syarikat Islam (SI) yang lahir terlebih dahulu dari Boedhi Oetomo (BO), yakni pada tahun 1905, yang jelas-jelas bersifat nasionalis, menentang penjajah Belanda, dan mencita-citakan Indonesia merdeka, tidak dijadikan tonggak kebangkitan nasional.
Mengapa BO yang terang-terangan antek penjajah Belanda, mendukung penjajahan Belanda atas Indonesia, a-nasionalis, tidak pernah mencita-citakan Indonesia merdeka, dan anti-agama malah dianggap sebagai tonggak kebangkitan bangsa? Ini jelas kesalahan fatal.
Akhir Februari 2003, sebuah amplop besar pagi-pagi telah tergeletak di atas meja kerja penulis. Pengirimnya KH. Firdaus AN, mantan Ketua Majelis Syuro Syarikat Islam kelahiran Maninjau tahun 1924. Di dalam amplop coklat itu, tersembul sebuah buku berjudul “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo: Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa” karya si pengirim. Di halaman pertama, KH. Firdaus AN menulis: “Hadiah kenang-kenangan untuk Ananda Rizki Ridyasmara dari Penulis, Semoga Bermanfaat!” Di bawah tanda tangan beliau tercantum tanggal 20. 2. 2003.
KH. Firdaus AN telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Namun pertemuan-pertemuan dengan beliau, berbagai diskusi dan obrolan ringan antara penulis dengan beliau, masih terbayang jelas seolah baru kemarin terjadi. Selain topik pengkhianatan the founding-fathers bangsa ini yang berakibat dihilangkannya tujuh buah kata dalam Mukadimmah UUD 1945, topik diskusi lainnya yang sangat konsern beliau bahas adalah tentang Boedhi Oetomo.
“BO tidak memiliki andil sedikit pun untuk perjuangan kemerdekan, karena mereka para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas Indonesia. Dan BO tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemedekaan, karena telah bubar pada tahun 1935. BO adalah organisasi sempit, lokal dan etnis, di mana hanya orang Jawa dan Madura elit yang boleh menjadi anggotanya. Orang Betawi saja tidak boleh menjadi anggotanya, ” tegas KH. Firdaus AN.
BO didirikan di Jakarta tanggal 20 Mei 1908 atas prakarsa para mahasiswa kedokteran STOVIA, Soetomo dan kawan-kawan. Perkumpulan ini dipimpin oleh para ambtenaar, yakni para pegawai negeri yang setia terhadap pemerintah kolonial Belanda. BO pertama kali diketuai oleh Raden T. Tirtokusumo, Bupati Karanganyar kepercayaan Belanda, yang memimpin hingga tahun 1911. Kemudian dia diganti oleh Pangeran Aryo Notodirodjo dari Keraton Paku Alam Yogyakarta yang digaji oleh Belanda dan sangat setia dan patuh pada induk semangnya.
Di dalam rapat-rapat perkumpulan dan bahkan di dalam penyusunan anggaran dasar organisasi, BO menggunakan bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia. “Tidak pernah sekali pun rapat BO membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka ini hanya membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda, memperbaiki nasib golongannya sendiri, dan menjelek-jelekkan Islam yang dianggapnya sebagai batu sandungan bagi upaya mereka, ” papar KH. Firdaus AN.
Di dalam Pasal 2 Anggaran Dasar BO tertulis “Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis. ” Inilah tujuan BO, bersifat Jawa-Madura sentris, sama sekali bukan kebangsaan.
Noto Soeroto, salah seorang tokoh BO, di dalam satu pidatonya tentang Gedachten van Kartini alsrichtsnoer voor de Indische Vereniging berkata: “Agama Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya… Sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan. ”
Sebuah artikel di “Suara Umum”, sebuah media massa milik BO di bawah asuhan Dr. Soetomo terbitan Surabaya, dikutip oleh A. Hassan di dalam Majalah “Al-Lisan” terdapat tulisan yang antara lain berbunyi, “Digul lebih utama daripada Makkah”, “Buanglah Ka’bah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya Kiblat!” (M. S) Al-Lisan nomor 24, 1938.
Karena sifatnya yang tunduk pada pemerintahan kolonial Belanda, maka tidak ada satu pun anggota BO yang ditangkap dan dipenjarakan oleh Belanda. Arah perjuangan BO yang sama sekali tidak berasas kebangsaan, melainkan chauvinisme sempit sebatas memperjuangkan Jawa dan Madura saja telah mengecewakan dua tokoh besar BO sendiri, yakni Dr. Soetomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo, sehingga keduanya hengkang dari BO.
Bukan itu saja, di belakang BO pun terdapat fakta yang mencengangkan. Ketua pertama BO yakni Raden Adipati Tirtokusumo, Bupati Karanganyar, ternyata adalah seorang anggota Freemasonry. Dia aktif di Loge Mataram sejak tahun 1895.
Sekretaris BO (1916), Boediardjo, juga seorang Mason yang mendirikan cabangnya sendiri yang dinamakan Mason Boediardjo. Hal ini dikemukakan dalam buku “Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962” (Dr. Th. Stevens), sebuah buku yang dicetak terbatas dan hanya diperuntukan bagi anggota Mason Indonesia.
Dr. Soetomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo Kecewa dengan BO
Karena BO tidak pernah membahas kebangsaan dan nasionalisme, mendukung penjajahan Belanda atas Indonesia, anti agama, dan bahkan sejumlah tokohnya ternyata anggota Freemasonry. Ini semua mengecewakan dua pendiri BO sendiri yakni Dr. Soetomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo, sehingga keduanya akhirnya hengkang dari BO.
Tiga tahun sebelum BO dibentuk, Haji Samanhudi dan kawan-kawan mendirikan Syarikat Islam (SI, awalnya Syarikat Dagang Islam, SDI) di Solo pada tanggal 16 Oktober 1905. “Ini merupakan organisasi Islam yang terpanjang dan tertua umurnya dari semua organisasi massa di tanah air Indonesia, ” tulis KH. Firdaus AN.
Berbeda dengan BO yang hanya memperjuangkan nasib orang Jawa dan Madura—juga hanya menerima keanggotaan orang Jawa dan Madura, sehingga para pengurusnya pun hanya terdiri dari orang-orang Jawa dan Madura—sifat SI lebih nasionalis. Keanggotaan SI terbuka bagi semua rakyat Indonesia yang mayoritas Islam. Sebab itu, susunan para pengurusnya pun terdiri dari berbagai macam suku seperti: Haji Samanhudi dan HOS. Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumatera Barat, dan AM. Sangaji dari Maluku.
Guna mengetahui perbandingan antara kedua organisasi tersebut—SI dan BO—maka di bawah ini dipaparkan perbandingan antara keduanya:
Tujuan:
- SI bertujuan Islam Raya dan Indonesia Raya,
- BO bertujuan menggalang kerjasama guna memajukan Jawa-Madura (Anggaran Dasar BO Pasal 2).
Sifat:
- SI bersifat nasional untuk seluruh bangsa Indonesia,
- BO besifat kesukuan yang sempit, terbatas hanya Jawa-Madura,
Bahasa:
- SI berbahasa Indonesia, anggaran dasarnya ditulis dalam bahasa Indonesia,
- BO berbahasa Belanda, anggaran dasarnya ditulis dalam bahasa Belanda
Sikap Terhadap Belanda:
- SI bersikap non-koperatif dan anti terhadap penjajahan kolonial Belanda,
- BO bersikap menggalang kerjasama dengan penjajah Belanda karena sebagian besar tokoh-tokohnya terdiri dari kaum priyayi pegawai pemerintah kolonial Belanda,
Sikap Terhadap Agama:
- SI membela Islam dan memperjuangkan kebenarannya,
- BO bersikap anti Islam dan anti Arab (dibenarkna oleh sejarawan Hamid Algadrie dan Dr. Radjiman)
Perjuangan Kemerdekaan:
- SI memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan mengantar bangsa ini melewati pintu gerbang kemerdekaan,
- BO tidak pernah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan telah membubarkan diri tahun 1935, sebab itu tidak mengantarkan bangsa ini melewati pintu gerbang kemerdekaan,
Korban Perjuangan:
- Anggota SI berdesak-desakan masuk penjara, ditembak mati oleh Belanda, dan banyak anggotanya yang dibuang ke Digul, Irian Barat,
- Anggota BO tidak ada satu pun yang masuk penjara, apalagi ditembak dan dibuang ke Digul,
Kerakyatan:
- SI bersifat kerakyatan dan kebangsaan,
- BO bersifat feodal dan keningratan,
Melawan Arus:
- SI berjuang melawan arus penjajahan,
- BO menurutkan kemauan arus penjajahan,
Kelahiran:
- SI (SDI) lahir 3 tahun sebelum BO yakni 16 Oktober 1905,
- BO baru lahir pada 20 Mei 1908,
Seharusnya 16 Oktober
Hari Kebangkitan Nasional yang sejak tahun 1948 kadung diperingati setiap tanggal 20 Mei sepanjang tahun, seharusnya dihapus dan digantikan dengan tanggal 16 Oktober, hari berdirinya Syarikat Islam. Hari Kebangkitan Nasional Indonesia seharusnya diperingati tiap tanggal 16 Oktober, bukan 20 Mei. Tidak ada alasan apa pun yang masuk akal dan logis untuk menolak hal ini.
Jika kesalahan tersebut masih saja dilakukan, bahkan dilestarikan, maka saya khawatir bahwa jangan-jangan kesalahan tersebut disengaja. Saya juga khawatir, jangan-jangan kesengajaan tersebut dilakukan oleh para pejabat bangsa ini yang sesungguhnya anti Islam dan a-historis.
Jika keledai saja tidak terperosok ke lubang yang sama hingga dua kali, maka sebagai bangsa yang besar, bangsa Indonesia seharusnya mulai hari ini juga menghapus tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, dan melingkari besar-besar tanggal 16 Oktober dengan spidol merah dengan catatan “Hari Kebangkitan Nasional”. (Rizki Ridyasmara)